Desa
Bone-Bone merupakan sebuah desa terpencil yang terletak di lereng Gunung
Latimojong di ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut. Kampung ini dihuni
kurang lebih 801 jiwa yang menempati rumah-rumah panggung. Luas Desa sekitar
800 hektar. Kampung Bone-Bone termasuk ke dalam wilayah Desa Bone-Bone (Setelah
dipecah dari Desa Pepandingan), Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang, Sulawesi
Selatan. Desa Bone-Bone berlokasi di kaki Gunung Latimojong, 1.500 meter dari
permukaan laut. Kampung Bone-Bone terletak sekitar 300 kilometer sebelah utara
Kota Makassar. Untuk mencapai kampung ini, dari Kota Makassar cukup melewati
Ibukota Enrekang, kemudian menuju ke Kecamatan Baraka. Dari Kecamatan Baraka
menuju ke Desa Bone-Bone, perjalanan dapat ditempuh dengan menggunakan
kendaraan roda empat maupun roda dua dengan jarak tempuh sekitar 50 kilometer.
Kampung ini
sangat terkenal sebagai desa tanpa rokok di Kabupaten Enrekang. Suasana
antirokok begitu terasa saat memasuki desa tersebut. Tanda larangan merokok
langsung terpampang pada baliho besar tepat di gerbang masuk Desa Bone-Bone,
Sejumlah papan berisi larangan merokok dan imbauan untuk menjaga kesehatan juga
menghiasi sudut-sudut desa. Acara kumpul-kumpul pada malam hari yang biasa
dihadiri pemuda dan bapak-bapak tetap berlangsung meskipun tanpa kepulan asap
rokok. Mereka hanya mengenakan kain sarung untuk menangkal hawa dingin sambil
menyeruput kopi hangat yang disajikan bersama pisang goreng.
Desa Bonebone, Kecamatan Baraka,
di Kabupaten Enrekang (Sulsel) sudah layak masuk MURI, bahkan patut masuk
museum Rekor Dunia. Betapa tidak. Mungkin inilah desa pertama di dunia yang
menyatakan diri sebagai kawasan bebas rokok. Padahal desa yang terletak di
lereng Gunung Latimojong pada ketinggian 1300 – 1500 meter dari permukaan laut
tersebut tentulah daerah dingin. Biasanya orang merokok untuk mengatasi udara
dingin itu.
Bagi para perokok, secangkir kopi panas biasanya belum cukup menghangatkan tubuh di daerah ketinggian yang berhawa dingin. Rasa menggigil seolah baru benar-benar sirna ketika merokok. Namun, sugesti itu mentah di kalangan warga Desa Bone-Bone, Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, yang berlokasi di kaki Gunung Latimojong, 1.500 meter dari permukaan laut.
Suasana
antirokok begitu terasa saat memasuki desa yang berpenduduk 801 jiwa tersebut.
Tanda larangan merokok langsung terpampang pada baliho besar tepat di gerbang
masuk Desa Bone-Bone, sekitar 300 kilometer sebelah utara Kota Makassar.
Sejumlah papan berisi larangan merokok dan imbauan untuk menjaga kesehatan juga
menghiasi sudut-sudut desa seluas sekitar 800 hektar itu.
Acara
kumpul-kumpul pada malam hari yang biasa dihadiri pemuda dan bapak-bapak juga
tetap berlangsung guyub meskipun tanpa kepulan asap rokok. Mereka hanya
mengenakan kain sarung untuk menangkal hawa dingin sambil menyeruput kopi
hangat yang disajikan bersama pisang goreng.
Pencanangan
kawasan bebas asap rokok merupakan inisiatif Kepala Desa Bone-Bone Muhammad
Idris (45) pada tahun 2000. Kala itu, ia prihatin dengan banyaknya anak-anak
usia SD hingga remaja yang merokok. Pemahaman tentang bahaya merokok minim
mereka dapatkan mengingat kebiasaan tersebut dilakukan orangtua pada umumnya.
Mantan loper
koran yang lulusan IAIN Alauddin itu pun menuangkan program kawasan bebas asap
rokok dalam peraturan dusun (Status Bone-Bone baru berubah menjadi desa pada
tahun 2008). Meskipun secara tegas telah melarang penjualan rokok di dusunnya,
ia masih mengizinkan warga merokok di dalam rumah. Hal ini untuk ”mengompromi”
permintaan warga yang keberatan jika larangan merokok langsung diberlakukan di
seluruh wilayah.
Setelah
tahun 2003, warga tidak boleh lagi merokok di kawasan desa termasuk di rumah.
Dalam kurun itu pula, setiap bulan, Idris bekerja sama dengan Dinas Kesehatan
Kabupaten Enrekang mengadakan penyuluhan tentang bahaya merokok bagi kesehatan.
Di sisi
lain, toleransi juga berlaku bagi para pendatang saat awal mula penetapan
kawasan tanpa rokok. Warga dari luar dusun diperbolehkan merokok selama tiga
hari. Namun, mereka akan diminta pulang jika melanggar aturan tersebut. Saat
ini pendatang sama sekali tak diperkenankan merokok jika berkunjung ke Desa
Bone-Bone.
Secara
bertahap, aturan larangan merokok juga disertai dengan sanksi. Warga yang
ketahuan merokok di kawasan desa wajib terlibat dalam kegiatan untuk
kepentingan umum, seperti pembenahan jalan rusak, pembangunan fasilitas umum,
dan pembersihan jalan. Sanksi ini dinilai cocok untuk mendidik warga ketimbang
denda berupa uang tunai..
Menurut
Idris, upaya mengawasi perilaku warga desa sejauh ini relatif lancar. Kondisi
geografis desa yang terletak di dataran tinggi membuat bau asap rokok dapat
tercium hingga radius sekitar 200 meter. ”Saya juga tidak khawatir jika ada
warga yang nekat merokok di dalam rumah karena anggota keluarga ikut
mengontrol,” ungkapnya.
Idris
bersama warga juga menyepakati sejumlah aturan lain yang dibuat demi kemajuan
desa. Sejak tiga tahun lalu, warga yang ingin menikah wajib menanam minimal
lima bibit pohon surian (Toona sureni) di lahan masing-masing. Hal ini
bertujuan menjaga kelestarian kayu surian yang biasa digunakan warga setempat
sebagai bahan bangunan rumah.
Upaya yang
telah dilakukan warga Desa Bone-Bone mulai menginspirasi beberapa desa di
Enrekang, seperti Kendenan dan Kadinge. Kedua desa itu sudah mengukuhkan diri
sebagai kawasan tanpa rokok sejak beberapa bulan lalu. Bupati Enrekang, La
Tinro La Tunrung, juga berencana memunculkan desa bebas asap rokok lain di
Kecamatan Ala dan Anggeraja mulai tahun depan.
”Saya
berharap desa lain mengikuti apa yang telah dilakukan warga Desa Bone-Bone,”
ujar bupati yang berhenti merokok sejak tiga tahun lalu ini. Pencapaian warga
Bone-Bone ini terpilih sebagai salah satu praktik cerdas yang ditampilkan
yayasan Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI) dalam Forum KTI V
awal November lalu di Ambon, Maluku.
Apa yang
telah dilakukan Idris dan kawan-kawan sebenarnya bukan hal baru. Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta dan Pemerintah Kota Surabaya sudah lama mendambakan
kawasan tanpa rokok di wilayah masing-masing. Namun, warga Desa Bone-Bone
menunjukkan bahwa itu hanya dapat dicapai dengan kepemimpinan yang kuat dan
komitmen bersama.
”Seha’ki
yake e’da ta mappelo’ mane (Tidak merokok itu sehat, Saudara)!”
“Sebagian
besar dari Kita baru merasakan telah diberi Nikmat, Saat kenikmatan
tersebut diambil kembali oleh sang pemberi nikmat “ALLAH”".